Kembali

Penyelenggara Negara : Etika Pejabat Publik Memburuk

Jakarta, Kompas – Etika pejabat publik di Indonesia kian memburuk dalam beberapa decade terakhir. Kondisi ini tidak hanya menghambat pembangunan tetapi juga berpotensi menjerumuskan Indonesia menjadi negara gagal.

Guru besar Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada Wahyudi Kumorotomo menuturkan, memburuknya etika pejabat publik secara kolektif itu bisa diamati dari perubahan pola perilaku dan gaya hidup pejabat publik. Ia mencontohkan, pemimpin pada awal pendirian Republik Indonesia bergaya hidup jauh lebih sederhana ketimbang para pejabat publik saat ini. Saat ini, dalam beberapa kasus korupsi, rakyat juga menyaksikan para koruptor yang notabene pejabat tinggi negara malah bisa mengumbar senyum , seolah tidak punya rasa bersalah.

Hal itu disampaikan Wahyudi dalam Diskusi Publik Penguatan Etika Pejabat Publik yang diselenggarakan Lembaga Administrasi Negara (LAN) di Jakarta, Rabu (16/12). Hadir sebagai pembicara lain adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Teuku Taufiqulhadi, Kepala Pusat Kajian Reformasi Administrasi LAN Muhammad Taufiq, dan Deputi Bidang Inovasi Administrasi Negara LAN Tri Widodo.

Dalam jangka panjang, memburuknya etika pejabat publik itu akan memperparah ketidakpercayaan antar pejabat dan rakyat. Ketidakpercayaan yang berlebihan itu bisa menjadi salah satu faktor penyebab kegagalan negara dalam menyediakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Wahyudi menyebutkan, dalam penelitian di beberapa negara, ada korelasi antara kemakmuran yang diukur dari pendapatan per kapita dan etika pejabat publik.

Dia mencontohkan, Jepang dan Filipina pada 1950-an berada di posisi hamper sama. Namun, setelah tahun 1970-an, ekonomi Jepang meningkat drastic, jauh meninggalkan Filipina yang cenderung stagnan. Perbedaan kedua negara itu bukan dari penduduk Jepang yang lebih cerdas, melainkan terletak pada etika publik.

Setelah pada 1970-an Deng Xiao Ping memimpin Tiongkok dengan menegakkan etika yang kuat, lanjut Wahyudi, ekonomi negara itu maju pesat. Tidak sekadar mendorong penegakan etika, Deng juga memimpin dengan contoh.

Kepercayaan

Menurut Muhammad Taufiq, salah satu kunci bagi bangsa Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan adalah menegakkan etika publik. Etika itu berkaitan erat dengan kepercayaan yang menjadi pilar utama pembangunan sebuah bangsa. Jika tidak mampu membangun kepercayaan rakyat, negara menjadi negara gagal.

Karena itu, dia berpesan agar pejabat publik bekerja dengan mengedepankan rambu-rambu etika yang menjadi panduan untuk menilai apa yang benar dan salah secara moral. Mereka harus pula menjadi contoh bagi masyarakat. “Harus juga diingat ketika seorang menjadi pejabat publik, ukuran yang digunakan bukan etika dia pribadi, melainkan etika publik yang berlaku universal,” kata Taufiq.

Sementara itu, Teuku Taufiqulhadi mengutarakan pentingnya pembenahan etika tidak hanya dari pejabat publik, tetapi juga dari masyarakat. Ia mengilustrasikan pentinganya hal itu dengan contoh seorang bupati yang diberhentikan karena dinilai melanggar etika. Namun, ketika ia kembali mencalonkan diri untuk menjadi anggota DPR, rakyat masih memilihnya. Berkaca dari hal itu, ia menilai perlu ada upaya bersama dari masyarakat dan lembaga-lembaga untuk bisa menginternalisasikan nilia-nilai etika publik.

Tri Widodo menekankan pentingnya masyarakat dan pejabat publik sama-sama membangun budaya “jijik”, buka sekadar budaya malu. Budaya “jijik” itu harus dimunculkan ketika seseorang melanggar etika, seperti korupsi atau tidak bisa menunjukkan kinerja dengan maksimal. “Analoginya, kalua seseorang itu sudah jijik, tanpa ada orang lain mengetahuinya, dia juga tidak mau menyentuhnya,” kata Tri Widodo. (GAL)

 

Dimuat di Harian Kompas, Kamis 17 Desember 2015.

Berikutnya
Komentar
Trackback URL:

Tidak ada Komentar. menjadi yang pertama.