Kembali

Pemberlakuan Standar Kompetensi PNS Masih Temui Banyak Tantangan

Jakarta – Pemberlakuan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) telah membawa konsekuensi berupa kewajiban bagi PNS untuk memiliki standar kompetensi yang meliputi kompetensi teknis, manajerial serta sosio kultural. Standar kompetensi ini mutlak diperlukan agar program reformasi birokrasi dan tujuan pembangunan nasional dapat tercapai. Meski demikian, masih banyak tantangan yang dihadapi untuk mewujudkan hal tersebut.

Demikian benang merah yang dapat ditarik dari diskusi “Expert Panel Grand Design Pengembangan Kompetensi ASN,” yang diselenggarakan selama dua hari oleh Pusat Kajian Reformasi Administrasi LAN,  Rabu - Kamis (19/3).

Menurut sosiolog Universitas Indonesia Imam Prasojo, kompetensi PNS merupakan hal yang mutlak dimiliki oleh setiap pegawai. Meski demikian, upaya mengembangkan kompetensi PNS tidak semudah yang dibayangkan.

“Masih banyak tantangan yang dihadapi untuk mengembangkan kompetensi PNS, khususnya dalam konteks sosio kultural,” jelasnya.

Menurut Imam, kesulitan itu disebabkan birokrasi Indonesia yang masih menganut otoritas feodalistik. Akibatnya, benturan antara kultur legal rasional dengan kultur feodalistik maupun kultur kharismatik dalam tubuh birokrasi Indonesia menjadi tidak terhindarkan.

“Hal itu yang mengakibatkan birokrasi Indonesia mendapat stigma sebagai institusi dengan cara kerja yang lambat dan serba menurut aturan yang berliku-liku. Sikap skeptis masyarakat tersebut harus disikapi oleh pemerintah dengan mengubah wajah birokrasi yang negatif tersebut dengan menciptakan budaya entrepreneurial,” jelasnya.

Menurut Imam, transformasi birokrasi di era sekarang penting untuk diwujudkan agar institusi birokrasi menjadi pelayan efektif, efisien dan adil.

Sementara itu, Kepala Badan Kepegawaian Daerah Pemprov DKI Agus Suradika mengatakan, kompetensi sosio kultural merupakan salah satu kompetensi yang mutlak harus dimiliki oleh pegawai di lingkungannya. Kompetensi sosio kultural ini sudah diterapkan di instansinya sejak 2013 silam.

Menurut dia, kompetensi sosio kultural juga menjadi syarat wajib yang harus dimiliki salah seorang pejabat Pemprov DKI, terutama mereka yang melayani masyarakat secara langsung, misalnya Camat, Lurah, Kepala Puskesmas dan lain sebagainya.

“Kompetensi sosio kultural ini mutlak harus dimiliki oleh mereka yang ada di garda terdepan pelayanan publik. Hal ini penting karena penduduk DKI terdiri dari berbagai kelompok etnis, agama, dan kepercayaan. Disamping itu, tingkat sosial ekonomi dan pendidikannya juga beragam,” jelasnya.

Dengan kondisi heterogenitas penduduk tersebut, lanjut dia, maka kompetensi sosio kultural menjadi urgen guna menghindari berbagai gesekan maupun konflik yang mungkin muncul di tingkat akar rumput.

Agus menambahkan, dalam kamus kompetensi yang disusun Pemprov DKI Jakarta, kompetensi sosio kultural disebut dengan kompetensi kepekaan sosial. Meski memiliki perbedaan nama, namun secara substansi kompetensi sosio kultural dan kompetensi kepekaan sosial memiliki arti yang kurang lebih sama.

“Kompetensi Kepekaan Sosial kita definisikan sebagai kemampuan untuk mengenali, mengidentifikasi, menganalisa karakteristik lingkungan sosial dimana ia berada serta merespon situasi secara memadai dan sesuai dengan kebutuhan dari beragam kelompok sosial yang dihadapi, dimana keunikannya dipengaruhi oleh beragam hal, seperti : agama, suku, ras, kelompok pekerjaan, strata sosial, politik, gender, budaya serta keunikan sosial lainnya,” paparnya.

Berpijak pada hal itu, lanjut Agus, maka setiap perekrutan pimpinan tinggi ASN di lingkungannya, kompetensi kepekaan sosial ini menjadi faktor dasar yang dinilai pada uji kompetensi pejabat.

“Jika dalam uji kompetensi ternyata terdapat kelemahan, maka kita akan rekomendasikan agar pejabat/pegawai yang memiliki kelemahan pada kompetensi tertentu akan direkomendasikan untuk mengikuti pelatihan ataupun pengembangan lainnya,” jelasnya. (danang/topa/bp/humas)

Komentar
Trackback URL:

Tidak ada Komentar. menjadi yang pertama.