Kembali

Dilema PNS Dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)

Jakarta - Kepala Daerah yang memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan PNS yang dianggap tidak loyal kepada dirinya menjadi dilema buat PNS untuk menegakkan netralitasnya sebagai abdi negara sekaligus abdi masyarakat.

“Pilkada langsung berkonsekuensi terhadap birokrasi (PNS) dalam memposisikan dirinya ketika berhubungan dengan politik. Di satu sisi, PNS harus bersikap netral. Di lain sisi, PNS dihadapkan pada kekuatan poliitik yang kuat pengaruhnya terhadap netralitas PNS. Situasi ini memposisikan PNS dalam situasi yang dilematis untuk tetap bersikap netral atau sebaliknya. Keterlibatan PNS dalam mendukung peserta pilkada memberikan kontribusi terhadap fragmentasi dan friksi politik internal dan terganggunya pelayanan publik,” kata Sudiman Dalim, dalam acara bedah buku karangannya yang berjudul “Politisasi Birokrasi: Netralitas dan Mobilitas PNS Dalam Pilkada”, di Perpustakaan STIA LAN Jakarta (2/12).

Hadir sebagai pembahas dari bedah buku ini adalah Deputi Bidang Inovasi LAN, Tri Widodo Wahyu Utomo, Kepala Pusat Kajian Reformasi Administrasi Muhammad Taufiq dan Desi Fernanda. (alamsyah)

Sudiman mengatakan, dengan sistem pilkada langsung, posisi PNS pun akhirnya menjadi tersandera oleh seremoni politik Pilkada. PNS seolah diposisikan harus memilih apakah tetap netral dan tidak berpihak kepada kepala daerah (incumbent) yang menjadi calon peserta pilkada, ataukah PNS harus terlibat dalam politik praktis dengan mendukung calon tertentu.

Konsekuensinya, lanjut Sudiman, jika calon yang didukungnya menang berarti karir PNS-nya akan naik. Namun, jika kalah maka karir PNS menjadi “tamat riwayat”nya. Menurutnya, hal ini terjadi karena kepala daerah sesuai dengan PP No. 9 Tahun 2004 memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan PNS sekaligus sebagai Pembina bagi PNS di daerahnya.

Untuk solusinya, Sudiman merekomendasikan kewenangan pembinaan terhadap PNS tidak ditangan pejabat politik (gubernur, bupati dan walikota), tapi harus dilakukan oleh pejabat karir, dalam hal ini Sekretaris Daerah atau Baperjakat.

“Hal ini penting untuk lebih menjaga netralitas PNS sebagai institusi non politik (birokrasi), maka pejabat Pembina-nya harus bukan dari pejabat politik,” ujarnya.

Buku ini mengambil contoh kasus penyelenggaraan Pilkada langsung di Sulawesi Selatan dan Banten yang telah menarik PNS untuk terlibat secara langsung dalam politik praktis. Hal ini terjadi karena adanya mobilisasi dan intervensi politik calon kepala daerah yang masih menjabat (incumbent).(Alamsyah)

Komentar
Trackback URL:

Tidak ada Komentar. menjadi yang pertama.