Kembali

Critical Review Implementasi Diskresi Dalam UU AP

Jakarta – Pemberian hak diskresi kepada pejabat pemerintah sesuai dengan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan merupakan salah satu langkah maju. Meski demikian, banyak kalangan menilai pelaksanaannya akan sulit karena para pengambil kebijakan dihadapkan pada posisi dilematis.

Hal ini mengemuka dalam diskusi “Critical Review Permasalahan Implementasi Diskresi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan” yang diselenggarakan Pusat Kajian Sistem Hukum Administrasi Negara (PKSHAN) LAN, di Lt. II Gedung B Kantor LAN, Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat, Rabu (1/4).

Menurut Kepala Bagian Administrasi PKSHAN, Triadmojo Sejati, implementasi diskresi merupakan langkah maju karena memberikan hak sepenuhnya kepada pejabat daerah untuk mengambil keputusan yang selama ini tidak ada atau tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Meski demikian, pejabat daerah juga dituntut untuk taat pada aturan dan dibatasi kewenangannya.

“Dengan demikian, diskresi akan  menjadi sulit dalam implementasinya. Karena ada kebebasan di satu sisi, tetapi ada juga batasan di sisi yang lain,” jelasnya saat mengawali diskusi.

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mengatakan, diskresi pada dasarnya bisa dilaksanakan dengan tujuan untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan ketika terjadi stagnasi, mengisi kekosongan hukum, memberi kepastian hukum, serta mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.

“Salah satu contoh diskresi adalah ketika terjadi bencana alam yang membutuhkan penanganan cepat. Pada posisi ini, Kepala daerah bisa menggunakan haknya untuk mengambil terobosan kebijakan yang tidak di atar atau dimungkinkan oleh undang-undang,” jelasnya.     

Dalam konteks yang lebih besar, Refly mencontohkan kasus pencalonan Kapolri Budi Gunawan yang berstatus tersangka dan mendapat penolakan dari berbagai kalangan. Dalam hal ini, lanjut dia, Presiden memiliki kewenangan untuk menggunakan Constitutional Power-nya guna memecah stagnasi pemerintahan dan segera mengambil keputusan.

“Alasannya jelas, karena tidak ada peraturan yang mengatur ketika terjadi penolakan,” jelasnya.

Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN), Prof. Dr. Agus Dwiyanto, MPA mengatakan, diskresi memang belum banyak dimanfaatkan oleh para pejabat di daerah karena dikhawatirkan akan  menempatkan mereka pada posisi berhadapan dengan hukum. Padahal, lanjut dia, diskresi diperlukan oleh penyelenggara pemerintahan karena sangat dibutuhkan untuk mengatasi keterbatasan kapasitas regulasi.

“Karena kapasitas regulasi atau perundang-undangan tidak mampu menjawab perubahan yang begitu cepat di masyarakat. Kadang regulasi yang ada pun sudah tidak relevan dengan perubahan jaman. Jadi diskresi itu penting untuk mengakomodasi kepentingan publik yang terus berkembang,” jelasnya.

Agus mengatakan, kapasitas regulasi di Indonesia seringkali menunjukkan banyaknya peraturan-peraturan yang sudah tidak relevan atau bahkan tidak masuk akal lagi dalam mencerminkan kepentingan publik. Oleh karena itu, kewenangan diskresi pada pejabat pemerintah mutlak diperlukan.

Dia mencontohkan, pemberian hak diskresi pada street level bureaucracy pada masa pemerintahan Presiden Bill Clinton. Clinton mendorong street level bureaucracy yang berhadapan dengan publik untuk mengambil terobosan-terobosan kebijakan yang bersinggungan langsung dengan masyarakat di tingkat bawah.

“Karena mereka yang paling mengetahui permasalahan di tingkat masyarakat,” jelasnya. (bp/humas)

Komentar
Trackback URL:

Tidak ada Komentar. menjadi yang pertama.